Anatomi Dikotomi Kendali

Ricky Setianwar
2 min readFeb 1, 2022

--

Yoooooou and me (2018) originally created by moonassi

NADA DERING WhatsApp bergema tatkala bulan menggagahkan dirinya dengan bulat sempurna. Layar ponsel dihiasi kalimat bernada rindu dari seorang kawan lama. Setelahnya ia berkeluh sedih karena lingkaran pertemanannya yang kian menipis. Mungkin ia lupa, kalau ia baru saja meletakkan kebahagiaannya kepada orang lain, suatu hal yang ada di “luar kendali”.

Betapa penting menyadari bahwa segala sesuatunya ada yang bisa dikontrol dan ada yang tidak bisa dikontrol; dikotomi kendali namanya. Dikotomi berarti pembagian dua kelompok yang bertentangan, sedangkan kendali, ya, kontrol atau kuasa. Epictetus dalam Enchiridion pernah menuliskan:

Some things are up to us, some things are not up to us.”

Tak heran budak penganut Stoik tersebut menuliskan demikian, sebab kebahagiaan ala Stoikisme muncul dari hal-hal yang bisa dikendalikan.

Dikotomi kendali dalam Stoikisme dibagi menjadi 2 dimensi, yaitu internal dan eksternal. Dimensi internal adalah hal-hal yang berada di dalam kendali kita, seperti: tindakan, persepsi, opini, keinginan, dan tujuan kita.

Sedangkan dimensi eksternal adalah hal-hal yang berada di luar kendali kita, yaitu: tindakan orang lain, pendapat orang lain, perasaan orang lain, kekayaan, kesehatan, hingga ban yang dicumbu paku!

Mungkin beberapa dari kita bertanya, “Mengapa kesehatan?” Tidak ada yang pernah tahu bahwa badan yang Anda bentuk sedemikian rupa dengan olahraga serta olah pola makan, bisa remuk seketika sebab roda empat yang diisi begundal dengan aroma air keras menabrak Anda — yang tentu melaju setengah sadar. Sama halnya dengan kekayaan atau rezeki, kita mungkin bisa “mengendalikan” diri kita menjadi yang terbaik di hadapan atasan, tetapi keputusan (dipromosi atau dipecat) tetap pada atasan kita; dalam hal ini orang lain — di luar kendali. Pandemi, antagonis raksasa yang sangat amat menggoyah perekenomian umat ini, juga berada pada dimensi eksternal. Karena mengendalikan bukan hanya soal “mencapai”, tetapi juga soal “mempertahankan”.

Ini bukan soal pasrah, tetapi menyadari kalau kita adalah orang yang merdeka. Merdeka dalam berpikir atau bebas memiliki persepsi.

Dikotomi kendali merupakan satu dari banyaknya cara untuk meredam emosi negatif, seperti perasaan sedih, kecewa, lewah pikir atau yang sering Anda sebut dengan overthinking. Kita diberi kemerdekaan berupa kebebasan untuk berpikir atau memiliki persepsi, lantas memutuskan berperasaan atau bertindak — seharusnya — secara rasional. Dan, rasional bisa diraih apabila kita bisa memfokuskan hal-hal yang mampu kita kendalikan.

“There’s nothing either good or bad, but thinking makes it so.”

— Shakespeare

Keadaan memang berperan besar dalam tindakan yang akan kita lakukan, tetapi tidak ada salahnya untuk menantang diri kita dengan menjadikan “pikiran” (sekali lagi, hal yang ada di dalam kendali kita) sebagai pemeran utama. Membikin pikiran untuk mempengaruhi tindakan atau reaksi kita terhadap sebuah situasi. Pak Tua Cliché acap berujar, menjadi sedih ataupun bahagia adalah pilihan.

Catatan: Teman, karib, sejawat, sahabat, pasangan, saudara, bahkan keluarga bisa pergi lantas menghilang kapan pun tanpa kita tahu. Namun, tidak dengan diri sendiri.

--

--

Ricky Setianwar
Ricky Setianwar

No responses yet