Menormalisasi Pesimis

Ricky Setianwar
3 min readOct 22, 2021
Painted by Michael Newton from Saatchi Art

LINI MASA dunia maya dipenuhi dengan berbagai macam unggahan. Pencapaian seseorang pun tak luput untuk menghiasi layar gawai melalui media sosialnya masing-masing; yang ironinya, kerap menimbulkan pikiran untuk membandingkan diri sendiri dengan orang lain. Karenanya, tak jarang sebagian dari kita berharap memiliki perolehan serupa atau bahkan lebih.

Itulah harapan, ia menjadi wadah untuk siapa pun yang hendak menciptakan skenarionya sendiri tentang kehidupan yang diidamkannya. Setelah angan-angan yang tersusun secara rapih itu, tindakan selanjutnya adalah mewujudkannya. Dan, kita semua tahu, tidak selamanya yang kita kehendaki selaras dengan kenyataan; proses dalam mewujudkan harapan tersebut juga memiliki potensi untuk gagal. Proses melahirkan pengorbanan dengan segala turunannya.

Pengorbanan untuk mencapai sesuatu bisa dijegal oleh kegagalan yang menimbulkan rasa kecewa. Kecewa tidak pernah enak; rentan mengacau, mengaburkan fokus. Ada satu opsi untuk meminimalisir atau bahkan menghapusnya dalam linimasa kehidupan kita, yakni: bersikap pesimis.

Pandangan sikap yang “tampak” kelam itu dipopulerkan oleh filsuf asal Jerman, Arthur Schopenhauer. Melalui kumpulan esai yang berjudul The Essays of Arthur Schopenhauer: Studies in Pessimism (terjemahan oleh Saunders dan Thomas Bailey yang ditranslasikan ke bahasa Indonesia oleh Khoiril Maqin dengan judul Tentang Pesimisme), ia mengajak pembacanya untuk melihat pesimisme dari sudut pandang yang lain.

Sama halnya dengan optimisme, pesimisme adalah sebuah pilihan hidup; respons kita terhadap jalannya kehidupan dalam memandang masa yang akan datang atau hal-hal yang belum terjadi. Jika optimisme adalah sebentuk keyakinan, maka pesimisme adalah ketidak yakinan. Lantas, apa yang membuat paham ini bisa menghalang rasa derita yang bernama kecewa?

Sederhananya, optimisme membuat seseorang merasa sangat yakin akan mendapatkan apa yang sedang diperjuangkannya dan ketika hal tersebut gagal, tentu kekecewaan berlebih dimungkinkan akan timbul; mulai memperhitungkan pengorbanan demi pengorbanan yang telah dilakukan. Berbeda ketika seseorang bersikap pesimis, ia tidak mengharapkan apa pun terhadap hal yang sedang diperjuangkannya, sehingga ketika keberhasilan belum berpihak, orang itu akan merasa “biasa saja”, sebab memang sedari awal tidak meyakini apa yang diperjuangkan akan didapatkan olehnya.

Alih-alih meresponsnya dengan rasa kecewa dan umpatan yang mengaum, kita bisa memilih untuk menanggapinya dengan, “Oh, ya udah lah, toh, enggak ngarepin juga.”

“Dari setiap persitiwa dalam hidup, kita dapat mengatakan untuk sesaat bahwa beginilah adanya, sedangkan untuk yang telah berlalu lama, demikianlah adanya.”

Arthur Schopenhauer

Penulis-cum-jurnalis, Dea Anugerah, yang mengaku sebagai Schopenhauerian berpendapat bahwa pesimis bukanlah membayangkan masa depan yang serbagelap, tetapi lebih memandangnya sebagai salah satu cara agar ia siap dan mampu menepis kekecewaan akan suatu hal yang tidak mengenakan. Bahkan menurutnya, tidak ada kehidupan yang benar-benar ideal; sebab suka dan duka bisa datang kapan saja. Sehingga, tidak larut dalam kebahagiaan yang berlebih karena duka bisa menyergap tiba-tiba — agar “siap” dan tidak merasakan kecewa.

Schopenhauer dalam esainya menjelaskan manusia bisa kecewa (lebih spesifik: menderita) karena kita bisa berpikir jauh ke masa lalu dan juga ke masa depan. Pikiran kita terhadap masa lalu mampu menampilkan berbagai fragmen tindakan maupun lisan kita di masa lampau yang berujung penyesalan, serta masa depan yang sudah bisa sibuk dipikirkan (harapan) dan kelak menjadi sumber ketakutan karena sifatnya yang tidak menentu. Beberapa contoh ketakutan itu antara lain: 1) takut gagal, 2) takut mengecewakan diri dan keluarga, 3) takut tidak sejalan dengan harapan, 4) dan lain-lain. Ketakutan adalah satu dari banyaknya penderitaan yang ada di dunia ini.

Berbeda dengan binatang, selain tidak mengenal harapan, kesadaran mereka hanya terbatas pada masa kini saja. “… binatang menunjukkan kearifan nyata bila dibandingkan kita — maksud saya, mereka tenang, dan begitu menikmati kenikmatan momen masa kini,” tulisnya.

Perlu diketahui, pria yang lebih sering menghabiskan waktu dengan anjing pudelnya dibandingkan manusia ini berpendapat bahwa pesimisme bukan berarti tidak menganjurkan untuk berusaha. Paham ini mengajak kita untuk berusaha, tetapi dengan pola pikir yang lain: tetap berusaha untuk memenangkan sesuatu, namun menghilangkan perasaan bahwa hal tersebut telah dimenangkan. Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, “… toh, enggak ngarepin juga.”

Pesimis bukanlah sebuah keadaan mental yang runtuh, juga tidak bisa dianggap sebagai suatu kemunduran dalam bersikap. Sebaliknya, ia bisa menjadi opsi untuk menyingkiran perasaan kecewa dan mengantisipasi keadaan mental yang runtuh.

--

--