Perfeksionis Mengikis

Ricky Setianwar
3 min readAug 13, 2022
Originally designed by Daniel Zender on the i spot

URUNG menumpahkan segala yang ada di kepala, seolah peyorasi akan menjadi substitusi tomat yang kelak dilempar ke panggung macam Squidward saat bersolek hingga memainkan klarinetnya. Panggung itu berbentuk pikiran dan/atau perasaan yang selalu menyimpulkan hal-hal nisbi, yakni respons orang lain.

Anggapan terakhir agaknya bisa menjadi lawan maupun kawan bagi orang-orang yang selalu bekerja keras membentuk “kesempurnaan” pada setiap pekerjaannya. Perasaan senang akan memeluk sekujur mereka ketika pujian yang terlontar, namun perasaan yang lain juga tersedia; cemas, yang akan menggerayang dan berujung teror, “Mereka bakal mikir apa, ya?” “Kalau dia enggak suka gimana, ya?” “Tulisan ini bisa dipahami orang-orang, nggak, ya?”

Lewah pikir yang berlarut bisa jadi tanda bahwa perfeksionisme telah mengikat.

Perfeksionisme bisa berperan sebagai protagonis; membuat hasil jadi sangat bagus, tetapi ia juga memiliki sisi antagonis yang mampu mengikis sendi-sendi kehidupan dengan dalih paripurna; yang semestinya bisa dihidupi apa adanya.

Prokrastinasi

Originally illustrated by Ebel Rodriguez on TIME

Seorang perfeksionis mendamba kesempurnaan dari diri sendiri — dan orang lain — dengan standar yang sangat tinggi. Psikolog Anthony Onwuegbuzie menyebutkan bahwa perasaan takut akan kegagalan salah satu masalah yang acap muncul pada individu yang memiliki kecenderungan perfeksionis. Kengerian terhadap kegagalan ini membuat para perfeksionis memilih untuk menunda hal yang semestinya dikerjakan atau bisa disebut dengan prokrastinasi.

Secuil tentang prokrastinasi, kata ini berasal dari Yunani: pro (maju ke depan) dan crastinus (besok), berarti lebih suka melakukan suatu hal “besok”. Ia menangguhkan aksi yang seharusnya bisa dikerjakan “sekarang”.

Keinginannya akan penciptaan sebuah mahakarya nyatanya berpotensi dicederai oleh penundaan yang berujung hilangnya produktivitas seseorang. Waktu yang terus diulur, progresif di ambang belur.

Takut terhadap kegagalan yang disebabkan sifat perfeksionis berujung pada prokrastinasi, memaksa individu diam di tempat.

Kendati demikian, dalam jurnal yang berjudul The Nature of Procrastination (2007) disebutkan bahwa ada pula prokrastinasi yang konstruktif, yaitu prokrastinasi fungsional: sebuah penundaan yang bertujuan untuk memperoleh informasi yang lebih lengkap dan akurat.

Depresi

Originally designed by JMFenner on REDBUBBLE

Penetapan standar yang begitu tinggi tanpa disadari menjadi bumerang bagi para perfeksionis. Harapan untuk menciptakan sesuatu yang adiluhung dan tak bercacat tanpa celah justru memberikan pintu bagi turunan maladaptive lainnya: depresi.

Sebuah penelitian menunjukkan, setidaknya ada 4 (empat) aspek perfeksionisme yang mampu menjerumuskan seseorang menjadi depresi, yakni: 1) kekhawatiran berlebih atas kesalahan, 2) keraguan atas tindakan, 3) harapan dan 4) kritik oleh orang tua.

Aspek terakhir punya tantangan tersendiri karena memerlukan komunikasi dua arah antara anak dan orang tua yang saling membangun; ego harus dikemas sedemikian elegan dalam rupa argumen, serta diiringi kebijaksanaan dalam merespons.

Baik dari orang tua maupun orang lain, karena berasal dari eksternal, standar-standar tinggi yang ditetapkan seringkali berada di luar kendali. Karenanya, perasaan yang terkait dengan kegagalan, kecemasan, ketidakberdayaan, kemarahan, pelbagai perasaan yang memiliki gesekan dengan depresi bahkan kecenderungan bunuh diri pun timbul.

Disebutkan pula di dalam penelitian tersebut bahwa semakin tinggi perfeksionisme dan semakin rendah harga diri seseorang maka semakin tinggi kecenderungan depresinya.

The secret of happiness, you see, is not found in seeking more, but in developing the capacity to enjoy less.

— Socrates

Sebetulnya perfeksionisme adalah hal yang wajar. Dalam jurnal psikologi yang lain bertajuk Self-Esteem as a Mediator Between Perfectionism and Depression: A Structural Equations Analysis (1998) mengatakan bahwa perfeksionisme merupakan aspek perkembangan yang normal, menjadi abnormal atau bermasalah ketika individu menetapkan standar-standar irasional dan tidak realistis untuk dicapai.

Perfeksionisme bisa dijadikan peranti untuk mendorong seseorang menjadi yang terbaik dan mampu bersaing, namun harus diimbangi dengan kesadaran; apakah yang diperbuat ini merugikan orang lain dan diri sendiri?

Yang terlupa oleh kita, Spongebob dihujani tepuk tangan hanya karena mengepel dan menyapu panggung; sebuah laku yang kelewat sederhana dan muskil terpikirkan akan mendulang sambutan yang menyenangkan hati.

--

--