Perjalanan Menjemput Duka

Ricky Setianwar
4 min readSep 9, 2021

PERJUMPAAN dan perpisahan adalah keterikatan; dua kata kontras yang mustahil untuk dicerai-beraikan. Seperti halnya harapan yang lekat dengan kekecewaan hingga gumpalan hasrat yang mencurahkan beribu penderitaan. Soal jumpa-pisah ini tidak melulu soal seseorang atau “si dia”, karena memang begitu banyak wujudnya. Bisa jadi sebuah tempat. Ya, setidaknya itu yang kulalui. Ironinya, perpisahan tak kenal suka, ia lebih tertarik dengan duka.

Baju dengan jumlah seadanya, gawai, dan beberapa buku sudah tersusun ala kadarnya di dalam tas. Kuantitas bawaan menyesuaikan lamanya hari kepergianku, atau, lebih tepatnya: kepulanganku. Bus siap lepas landas pada pukul 6 sore tiket itu berkata.

Sebelum menuju ke tanah Istimewa, di bawah langit Jakarta, beberapa orang berlalu-lalang dengan keranjang dagang. Kerutnya menggariskan lelah, suara lantang ketika menjajakan dagangannya senyaring doa keluarga di kediaman mereka masing-masing kukira. Situasi yang tak kunjung ideal memaksa sebagian orang menjadi bebal — yang tak bengal — mengingat ada banyak perut yang perlu diisi, jelas beras tidak setara dengan reklame berkalimat simpati nan banal.

Roda-roda kembali menggilas aspal ibu kota. Kepulangan para pekerja dengan kendaraannya, gedung-gedung menjulang dengan segala keangkuhannya, juga pergerakan MRT yang begitu elegan, memanjakan netra melalui kaca yang menjadi bantalan sepanjang perjalanan. Lanskap itu meneduhkan penglihatan, seakan dipeluk hangat di bawah penyejuk udara yang luar biasa dingin. Sempat mengira gigil ini yang merusak situasi spirituilku dengan pemandangan di depan mata; rupanya, tujuanku menaiki bus inilah yang menjadi distraksi, dipertebal dengan memori 4 tahun yang dengan tanpa aba-aba menampakkan diri begitu saja, dan alunan melankolis yang menggema di lorong rungu mencipta nestapa yang paripurna.

Ibadah menatap jalan berubah menjadi lamunan. Kondisi rapuh tersebut menjadi incaran empuk oleh kenangan pahit dan manis yang mustahil terulang.

Bagian selatan Yogyakarta, Bantul, Sewon. 4 tahun. Teramat banyak kisah untuk dikisahkan. Tak terasa pun, dari awal singgah, kamar indekos itu tanpa adanya eksistensi sebuah lemari. Tapi, ternyata ketiadaannya tak begitu berpengaruh. Apa guna bila fungsi meyimpan segala tak mampu untuk menyimpan perasaan senang atau pikiran tenang yang bisa disimpan lantas dikenakan hari lepas hari?

Ruang pembaringan tanpa kamar mandi dalam itu tiada bosan menjadi saksi. Ia setia, menerimaku apa adanya; ketika mengalami berkat hingga kebodohan pelan mengukir musibah, jatuh ke dalam fase terendah lalu merangkak dan kembali ke titik awal. Doa dan dosa saling merebut tahta. Tempat itu menjadi proses pembentukkanku.

Izinkan aku untuk mengatakan: pemaknaanku akan kehidupan dengan segala tetek-bengeknya merasa diperluas, melalui lingkungan dan orang-orang dengan latar belakang yang berbeda, ada empati dan prihatin yang terasah di sana. Sejatinya, merantau tidak sama dengan liburan.

Momen berkilas balik ini terus menarik sampai palung mengikis relung. TL;DR: Tuhan itu baik. Aku dilingkupi orang-orang yang luar biasa baik.

Kepedulian-Nya mewujud dalam sosok Ibu Sum. Kedatanganku mula-mula sebagai seorang asing dengan suara sengau ketika hendak membeli makan pada waktu itu, justru dibawakan pulang jeruk nipis dan kecap yang ia perlu beli terlebih dahulu di toko sayuran yang berjarak tiga rumah dari warung makannya. Sungguh, dibelikannya dua hal itu dengan cekatan.

Soal sengau dan penawar darinya, aku menggambarkannya seperti gerbang kebaikan; itu awal kebaikan dari jejeran hal baik yang ada di dalamnya. Nasi, sayur yang disertai kikil atau usus, dan tempe, dengan total harga Rp4.500, tiada tandingan.

Ibu Ambar, pemilik indekos itu juga tidak luput dalam daftar. Yang menjadi ciri khasnya adalah di setiap awal tahun, ia mengundang seluruh anak kos untuk datang ke rumahnya dan makan bersama. Pernah waktu itu ia mendatangkan tukang nasi goreng dengan gerobak-gerobaknya. Segan.

Bukan hanya rambutnya yang panjang, kesabarannya pun juga. Ketika kiri dan kananku sudah dinaikkan harga per bulannya, kamarku tidak termasuk. Walau sudah ada wacana ketika mendekati akhir-akhir tahun, barulah di awal tahun yang baru benar kejadian. Keterlambatan untuk membayar pun kerap terjadi; alih-alih meminta haknya dengan urat mendelik atau mengotori kolom pesan pada ponsel dengan tulisan penuh teror tak beraturan, panjang sabar ia menagih tanpa mengejar.

Penggunaan kata “ibu” di depan namanya, bukan hanya sekadar dalam arti menaruh hormat; karena memang ia berlaku selayaknya seorang ibu yang memberi afeksi kepada anak-anak terkasihnya. Termasuk aku.

Para penghuni di dalam semesta Kos Ibu Ambar mustahil tertinggal dalam memberi sumbangsih untuk merusak ikatanku dengan jalanan yang sedang kupandang. Saling berbagi sedu. Saling berbagi bungah. Merangkai situasi platonik yang selalu melingkup dalam percakapan pukul 3 pagi. Bersama berusaha saling mengisi lubang kekurangan dengan kemampuannya masing-masing; apa pun bentuknya.

Gelap di luar menyeruak, mencipta situasi kalut di dalam tempurung. Kesan-kesan indah yang sudah-sudah pun tetap buntu ‘tuk jadi penerang. Usai sudah hubunganku dengan rumah-ku di tanah rantau. Di tanah Sewon. Sewonderland.

Perjalanan pulang ini bukan hanya menjemput barang-barang yang telah mengakar di kamar. Aku, menjemput duka.

--

--